dakwatuna.com - Satu fakta jelas.
Bahwa cara ibadah orang yang takut pada Allah, dengan yang tidak, jelas berbeda.
Jangankan tingkat kekhusyu’an, timing mereka
menyegerakan diri untuk wudhu saat mendengar adzan berkumandang saja
sudah berbeda. Yang takut pada Allah bisa jadi sudah ready di
masjid bahkan 15 menit sebelum masuk waktu shalat. Di rumah ujung sana
ada hamba Allah yang menunggu adzan dulu baru meninggalkan aktivitas.
Dan ada pula di kampung sebelah – atau justru diri sendiri – yang dengan
merasa amannya, berfikir “Ah, kan semua masjid belum adzan. Nunggu
semua masjid selesai adzan dulu baru saya berangkat”. Kebayang enggak
sih kalau di sekitar daerahnya itu ada 20 masjid?
Jika urusan shalat yang urgent saja
tidak mendapat perhatian khusus, seberantakan apa isi kehidupan kita
yang lain? Adab kepada orangtua, mengasihi saudara, berderma untuk diinullaah, dan menjalin ukhuwah dengan sahabat yang pada diri kita ada hak mereka?
Dari
sekian banyak hal yang menjadi pemicu ketidakkhusyu’an seorang hamba
adalah sebab keinginan hatinya belum sesuai dengan kenyataan. Menjadi
konflik yang terus berputar-putar dalam dirinya. Jika dipendam terus ia
sudah tahu bahwa dirinya terganggu. Jika diluapkan pun ia paham bahwa
sepertinya Allah belum berikan izin. Lalu, bagaimana?
Untuk mengubah keadaan- butuh satu hal yang jika itu sudah full of power,
Insya Allah mampu. Yaitu keyakinan. Jika itu saja masih minus, percaya
saja bahwa dunia yang luas ini akan tampak berisi alasan-alasan. Adaaa
saja yang dijadikan alasan. Namun jika keyakinan dan tekad itu sudah
mengangkasa, pasti yang lain tampak seperti ikan teri bagi ikan paus.
Tidak ngefek sama sekali.
Terlepas apapun dan siapapun
yang kita cintai cara kita mengapresiasinya adalah refleksi kedalaman
cinta itu sendiri. Apresiasi masing-masing dari kita pada Mie instan dan
Ayam goreng pasti berbeda. Tergantung tingkat kesukaan kita. Ikhtiar
kita untuk memperolehnya – dan tingkat kegalauan saat kita belum
mendapatkannya – pun adalah cara mendeteksi sedalam apa rasa kita
kepadanya.
Pun kepada Allaahu ‘azza wajalla demikian. Jika sudah
dalaaam sekali rasa ketergantungan pada-Nya, saya yakin, menjalankan
shalat tidak akan seperti hendak membayar utang pada Allah, namun lebih
kepada feeling “Aku datang untuk mengobati diriku. Memang ini obatnya”.
Adab dalam menunaikan shalat pun sebenarnya sangat urgent bagi
yang hatinya dilembutkan Allah. Dia memperhatikan hal yang bahkan luput
dari pandangan yang lain. Jika selama ini kita merasa kenapa Allah tak
kunjung kabulkan doa, kita tatapi lagi bagaimana sikap kita saat hendak
meminta pada-Nya. Mungkin saat hendak shalat – dan sajadah tidak lurus –
kita meluruskannya pakai kaki. Di hadapan Allah kok pakai kaki
membetulkan sajadah?
Lalu, mentang-mentang diberikan
toleransi boleh bergerak sebanyak 3x di luar gerakan shalat yang
membatalkan- kita malah memang benar tidak mau rugi. Kesempatan itu
diborong habis. Membetulkan mukena, mengibaskan kaki karena terasa pasir
di telapak kaki, lalu menggaruk pipi. Padahal kenapa atuh terkadang di
depan pak RT yang marah-marah soal sampah saja- bisa enggak bergerak?
Manuut banget, takut. Seakan-akan pak RT yang bakal biayain pernikahan
kita? Astaghfirullah kenapa lompat ke pernikahan sih ya. Hehe.
Katanya pengen naik haji ke Baitullah, tapi sajadah yang ada gambar Ka’bahnya saja dijadikan alas duduk untuk chatting.
Katanya kalau kelak menjadi pejabat kita akan mendermakan setengah
harta untuk umat. Wong ada teman yang minta dibagi somay saja-jawabnya
“Dikit saja ya. Nyicip doang ya”. Saya yakin, Somay itu akan dihisab
Allah dan dijadikan tolok ukur pantas tidaknya kita dijadikan pemimpin
Islam di masa depan.
Caramu mengapresiasi sesuatu, memang benar,
adalah refleksi sedalam apa kecintaanmu terhadapnya. Itulah mengapa
seorang ‘Ulama pernah berkata “Katakan padaku apa yang sudah kau berikan
pada Islam, maka akan kukatakan seperti apa kau di masa depan”.
Logikanya adalah, untuk melihat apakah engkau akan sampai pada yang
engkau inginkan, lihatlah sudah apa saja yang kau berikan untuk menuju
ke sana.
Di atas segalanya, mencintai dan membenci karena Allah adalah yang paling utama.
Ini
nasihat untuk diri. Harus diingat-ingat betul nih. Biasanya ya sahabat,
kalau habis memberi teori seperti ini, Allah langsung kirim bala
tentaranya untuk menguji, seakan berkata “Tadi kamu sudah teori,
sekarang prakteknya…”
Semoga Istiqamah.
Aamiin Allaahumma aamiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar